TIMES CIANJUR, RAJA AMPAT – Destinasi pariwisata bahari kebanggaan Indonesia, Raja Ampat, di ambang bahaya. Isu rencana pertambangan nikel di wilayah Papua Barat Daya, yang disuarakan Greenpeace Indonesia, memicu kekhawatiran serius.
Ini bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan sebuah kaca benggala yang merefleksikan carut-marutnya koordinasi dan profesionalisme dalam tata kelola antarsektor di negeri ini. Khususnya antara pertambangan dan pariwisata.
Dari kacamata hukum pertambangan, apa yang terjadi di Raja Ampat adalah anomali. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) jelas mengamanatkan bahwa setiap kegiatan, termasuk pertambangan, harus melalui serangkaian tahapan.
"Mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, hingga penegakan hukum. Pasal 85 UU PPLH bahkan secara tegas menyebutkan tanggung jawab ganti rugi bagi perusak lingkungan," kata Erick Herlangga, S.H., CMLC, Advokat, Kurator dan Konsultan Hukum Pariwisata, Kamis (5/6/2025).
Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang kini telah diubah. Meski fokus pada kerangka bisnis pertambangan, ada kewajiban bagi pemegang izin untuk melakukan reklamasi dan pascatambang.
Lantas, mengapa di wilayah sepresisi Raja Ampat, yang merupakan geopark UNESCO, ancaman ini bisa muncul?
Peristiwa ini menunjukkan adanya celah serius dalam penegakan hukum atau mungkin kelonggaran dalam pemberian izin yang abai terhadap dampak lingkungan jangka panjang.
"Seruan dari Greenpeace seharusnya menjadi tamparan keras bagi otoritas pertambangan untuk segera meninjau ulang segala potensi izin yang mengancam kawasan vital ini," ujar Erick menjelaskan.
Menurutnya, Raja Ampat adalah aset tak ternilai bagi pariwisata Indonesia. Jutaan devisa mengalir, ribuan lapangan kerja tercipta, dan kehidupan masyarakat lokal bergantung padanya.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan secara gamblang mengedepankan asas kelestarian dan berkelanjutan (Pasal 2). "Pasal 29 bahkan menegaskan bahwa pengelolaan destinasi pariwisata harus memperhatikan kelestarian budaya dan lingkungan secara selaras dan sinergis," ungkapnya menerangkan.
Bayangkan, jika terumbu karang rusak, biota laut musnah, dan air tercemar akibat tambang, apa yang tersisa dari Raja Ampat? Destinasi selam kelas dunia itu akan kehilangan daya tariknya, wisatawan enggan datang, dan roda ekonomi lokal akan lumpuh.
"Ini bukan hanya kerugian ekologis, tapi juga kerugian ekonomi dan sosial yang tak terhingga bagi negara dan masyarakat. Undang-undang kita sudah jelas mengamanatkan perlindungan, tapi mengapa implementasinya begitu rapuh?" imbuhnya.
Kasus Raja Ampat dinilai alarm darurat. Kementerian Pariwisata sudah tidak bisa lagi hanya berfokus pada promosi dan branding. Mereka harus memiliki tim profesional yang tidak hanya memahami pariwisata, tetapi juga melek hukum dan mampu berkomunikasi strategis dengan kementerian atau regulator lain, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Masalah seperti ancaman tambang di Raja Ampat ini seharusnya bisa dicegah sebelum terjadi. Dengan tim yang kuat secara hukum, Kementerian Pariwisata dapat proaktif mengidentifikasi potensi konflik tata ruang, memberikan masukan konstruktif sejak awal proses perizinan, dan melakukan advokasi yang kuat agar wilayah konservasi dan pariwisata tidak dikorbankan demi kepentingan industri lain.
"Sudah saatnya kita menyadari bahwa menjaga aset pariwisata seperti Raja Ampat bukan hanya tugas satu kementerian, melainkan tanggung jawab bersama yang membutuhkan sinergi keahlian lintas bidang. Tanpa itu, Raja Ampat mungkin hanya akan menjadi dongeng indah masa lalu, sebuah bukti nyata kegagalan kita dalam menjaga amanah keindahan alam dan kesejahteraan rakyat," tukasnya.
Pewarta | : Wandi Ruswannur |
Editor | : Faizal R Arief |