TIMES CIANJUR, NGAWI – Di balik aroma tempe goreng dan riuh pasar tradisional, tumbuh seorang gadis kecil yang kelak menjelma menjadi penulis penuh luka dan cahaya. Dialah Apriliana Soekir.
Perempuan asal Ngawi ini, yang kini menempuh pendidikan di Hong Kong, dikenal lewat bukunya yang menyentuh, "Gadis Berkabung Senyap."
Dalam wawancara eksklusif bersama TIMES Indonesia melalui sambungan telepon, Apriliana membuka lembaran hidupnya pahit, getir, tapi juga penuh harap. Ia bukan sekadar penulis tapi penyintas yang bersuara lewat kata.
Masa Kecil: Aroma Gorengan dan Puisi di Kertas Berminyak
“Saya adalah anak singkong,” ucap Apriliana melalui keterangan tertulis, dengan suara lirih namun pasti, Sabtu (28/6/2025).
Ia tumbuh di bawah bayang-bayang wajan panas. Ibunya, penjual gorengan, menghidupi keluarga dari dagangan sederhana. Tapi dari sanalah Apriliana menemukan dunia kata. “Saya tumbuh dengan aroma tempe goreng dan singkong rebus. Itu parfum masa kecil saya.”
Dari kertas-kertas koran bekas pembungkus gorengan, ia menciptakan puisi. Tentang langit, harapan, dan kehilangan. “Kadang saya menangis di balik penggorengan. Tapi air mata itu menguap terlalu panas oleh minyak kehidupan.”
Luka di Kaki Gunung: Ketika Sunyi Menyimpan Dosa
Dalam salah satu pendakian, Apriliana mengalami trauma yang membekas hingga hari ini. Ia menjadi korban pelecehan oleh seorang anak pesantren. “Dia merobek sesuatu yang lebih dari pakaian. Dia merobek kepercayaan saya,” ujarnya, suaranya pecah.
Namun ia memilih untuk melawan dengan cara paling damai—melalui tulisan. “Saya menulis karena saya tidak punya pisau. Tapi kata-kata bisa lebih tajam,” tegasnya.
Hong Kong: Pelarian yang Menjadi Pemulihan
Dari Ngawi, ia melompat jauh ke Hong Kong. Di sana, ia menyusun hidup baru. Kuliah, bekerja, dan tetap menulis. “Langit di sini abu-abu, tapi saya belajar bahwa impian tetap bisa tumbuh di antara polusi,” katanya.
Dalam hal ini lebih lanjut Apriliana kini menjadi mahasiswi aktif di Perma UT Hongkong dan mengisi waktunya dengan menjadi konten kreator serta aktivis perempuan.
Gunung: Guru yang Tega, Tapi Menyembuhkan
Meski luka tercipta di kaki gunung, justru di sanalah ia menemukan damai. “Gunung itu guru yang kejam tapi jujur. Saat saya demam setelah turun, jiwa saya justru sembuh,” tuturnya.
Pendakian baginya bukan pelarian, tapi proses berdamai. Ia menamai rasa itu sebagai bentuk penyembuhan yang dalam.
Epilog: Untuk Mereka yang Pernah Terluka
Di akhir percakapan, Apriliana menyerahkan secarik puisi yang ia tulis sendiri:
Untuk kalian yang pernah terluka,
Tubuhmu mungkin sudah penuh dengan bekas,
Tapi jiwamu masih bisa menulis puisi.
Dan puisi itu akan menyembuhkan luka orang lain.
Aku percaya itu.
Karena aku adalah anak singkong,
Yang belajar berbuah di tanah asing. (*)
Catatan Redaksi:
Apriliana Soekir saat ini tengah menyelesaikan buku ketiganya berjudul "Ranjang Terbang", yang direncanakan terbit tahun depan.
Ia juga aktif dalam kampanye anti-pelecehan seksual di kalangan komunitas pendaki Asia, sembari terus berjuang sebagai mahasiswi dan aktivis di Hong Kong.
Pewarta | : Wandi Ruswannur |
Editor | : Faizal R Arief |