TIMES CIANJUR, JAKARTA – Kedepankan prinsip-prinsip yang mengedepankan kemanusiaan dalam penerapan hukum, untuk mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi setiap warga negara dalam kasus tindak kekerasan seksual.
"Semestinya sejak UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan pada tahun 2022, kasus kekerasan seksual di tanah air dapat melandai, tetapi kenyataannya tidak. Bahkan kasus yang sedang berproses banyak menghadapi kendala," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema UU TPKS: Proses Hukum Tersendat, Korban Meratap yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (23/7/2025).
Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Irjen Pol. (Purn) Desy Andriani (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia/KemenPPPA RI), Kombes Pol. Dr. Rita Wulandari Wibowo S.I.K.,M.H. (Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana 1 Perlindungan Perempuan dan Anak dan Pemberantasan Perdagangan Orang Polri/Kasubdit 1 Dittipid PPA dan PPO Polri), dan Amanda Manthovani (Kuasa Hukum Korban) sebagai narasumber.
Menurut Lestari, implementasi adalah tahapan yang sangat krusial dari lahirnya sebuah kebijakan seperti UU TPKS.
Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, kehadiran UU No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, selain menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual, menekankan perspektif korban, juga mangedepankan sejumlah hak-hak dasar manusia.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu menilai, kesadaran dan pemahaman aparat penegak hukum serta masyarakat, harus terus ditingkatkan sebagai bagian penerapan UU TPKS secara menyeluruh.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah mampu membangun lingkungan yang aman bagi setiap warga negara.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, KemenPPPA RI, Desy Andriani mengungkapkan, dalam 3 tahun sejak disahkannya UU TPKS, Kemen PPPA sudah membentuk 355 Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di Kabupaten/Kota dari 500 Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia.
Selain itu, ujar Desy, pemerintah juga sudah membuat Peraturan Pemerintah No. 29/2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Peraturan Pemerintah No. 30/2025 tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sebagai bagian dari upaya pelaksanaan amanah UU TPKS secara menyeluruh.
Namun, menurut Desy, sejumlah tantangan dalam pelaksanaan UU TPKS masih kerap dihadapi karena belum adanya pemahaman aparat penegak hukum terkait penerapan undang-undang tersebut.
Hal serupa, jelas dia, juga masih dihadapi oleh para mitra UPTD PPA di berbagai daerah dalam merealisasikan sejumlah layanan perlindungan yang menyeluruh bagi setiap warga negara.
Sehingga, tegas Desy, pendekatan untuk mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi masyarakat dari tindak kekerasan seksual harus dilakukan secara terintegrasi dan membutuhkan dukungan pihak-pihak terkait.
Polri/Kasubdit 1 Dittipid PPA dan PPO Polri, Rita Wulandari Wibowo mengungkapkan, pihaknya diamanatkan oleh UU TPKS untuk melaksanakan penegakan hukum sekaligus perlindungan terhadap korban dalam kasus-kasus tindak kekeraaan seksual.
Menurut Rita, pihaknya juga dituntut untuk memenuhi hak-hak korban dalam penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban tindak kekerasan seksual.
Saat ini, jelas Rita, pihak kepolisian juga terus berupaya membangun pemahaman yang lebih baik bagi setiap aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual.
Menurut Rita, diperlukan mekanisme terpadu untuk menyamakan persepsi bagi setiap pelaksana yang menangani proses penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak kekerasan seksual.
Rita juga berharap, sejumlah pihak seperti UPTD PPA bisa diberi kewenangan untuk menerima laporan dari korban terkait kasus tindak pidana kekerasan seksual.
Rita mengusulkan, penerapan pola penanganan terpadu yang melibatkan sejumlah institusi bisa diterapkan untuk mempercepat penuntasan berbagai kasus tindak kekerasan seksual di tanah air.
Diakui Rita, pihak kepolisian saat ini juga terus melakukan perbaikan secara organisasi dan sumber daya manusia penegak hukum dalam penanganan kasus.
Kuasa hukum sejumlah korban tindak kekerasan seksual, Amanda Manthovani mengungkapkan, proses hukum terkait kasus tindak kekerasan seksual belum menjalankan amanah dari UU No. 12/2022 tentang TPKS.
Menurut Amanda, pengalamannya dalam mendampingi korban kekerasan seksual memperlihatkan bahwa proses hukum sejak pelaporan hingga penyelidikan ditangani oleh penegak hukum laki-laki.
Kondisi itu, jelas Amanda, membuat korban tindak kekerasan seksual yang mayoritas perempuan, sejak awal proses hukum merasa tertekan dan menimbulkan trauma.
Selain itu, ungkap dia, penyidik dalam proses hukum lebih sering langsung menghubungi korban, tanpa didampingi kuasa hukum.
Diakui Amanda, para penegak hukum masih menggunakan hukum acara umum pada kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual, sehingga mekanisme perlindungan dan pemulihan korban yang merupakan amanah dari UU TPKS tidak berjalan.
Pada kesempatan itu, Wartawan Senior Usman Kansong berpendapat, penyebab proses hukum kasus tindak kekerasan seksual tidak berjalan dengan baik karena prosesnya tidak menggunakan perspektif korban.
Karena tidak menggunakan perspektif korban, jelas Usman, proses hukum kasus tindak kekerasan seksual saat ini lebih didominasi relasi kuasa dan pemahaman patriarki.
Perspektif korban di lingkungan penegakan hukum, menurut Usman, harus didorong dengan meningkatkan jumlah polisi wanita dalam proses penanganan hukum kasus-kasus kekerasan seksual di tanah air. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Lestari Moerdijat: Kedepankan Prinsip-Prinsip Kemanusiaan dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Pewarta | : Rochmat Shobirin |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |