TIMES CIANJUR, BANTUL – Ketua DPRD Bantul, Hanung Raharjo meminta pihak terkait, terutama Agraria Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk lebih cermat dan teliti dalam memahami dokumen kepemilikan tanah, menyusul kasus dugaan mafia tanah yang menimpa Mbah Tupon.
"Kami prihatin atas kasus itu. Kami harap, kasus ini ditindaklanjuti dengan jelas dan sampai tuntas. Karena kami tidak mau ke depan ada 'Mbah Tupon-Mbah Tupon' lain yang menjadi korban kasus serupa," ujar Hanung, Selasa (29/4/2025).
Hanung menekankan pentingnya ketelitian dalam memeriksa dokumen, mengingat ada dugaan pemalsuan atau penyalahgunaan dokumen asli kepemilikan tanah. Ia mengungkapkan, Mbah Tupon yang tidak bisa membaca dan menulis, diduga menjadi korban manipulasi saat terjadi proses pemindahan hak atas tanah.
"Logikanya, ketika hak tanah itu pindah ke pihak lain atau ke bank, jangan-jangan Mbah Tupon dimanipulasi. Oleh karena itu, kami harap semua stakeholder terkait lebih cermat memahami dokumen dan kepemilikan tanah asli," tegasnya.
Jika terbukti ada pemalsuan atau penyalahgunaan dokumen, Hanung meminta pihak berwajib mengusut tuntas kasus tersebut dan memberikan hukuman sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
"Jangan sampai dalam proses pengusutan dan pemberian hukuman ada intervensi-intervensi lain. Ke depan, ATR/BPN juga harus melakukan double check antara dokumen kepemilikan tanah dan titik koordinat lokasi. Jangan hanya membaca dokumen tanpa melakukan survei langsung ke lokasi, agar tidak ada lagi kasus serupa," tegas Hanung.
Duka Mbah Tupon
Sebelumnya, Mbah Tupon, warga RT 4 Padukuhan Ngentak, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, diduga menjadi korban mafia tanah.
Tanah miliknya seluas 1.655 meter persegi beserta beberapa rumah, tiba-tiba dilelang setelah dijadikan jaminan pinjaman sebesar Rp1,5 miliar tanpa sepengetahuannya. Ia pun mengaku terkejut mengetahui sertifikat tanahnya telah beralih nama.
Mbah Tupon menuturkan, dirinya tidak pernah merasa menjual tanah tersebut. Ia hanya beberapa kali diminta menandatangani berkas yang disebut untuk keperluan memecah sertifikat bagi anak-anaknya.
Karena tidak bisa membaca dan menulis, Mbah Tupon menuruti tanpa memahami isi dokumen. "Pas diajak tanda tangan itu saya cuma masuk ruangan, tanda tangan, lalu disuruh keluar. Tidak dibacakan apa-apa," ungkapnya.
Lebih lanjut, pria berusia 68 tahun itu berharap sertifikat tanah tersebut bisa kembali ke tangannya. "Tanah kulo niku, pokoke niku sertifikate wangsul wonten tangan kulo malih," harap Mbah Tupon dalam bahasa Jawa.
Ketua RT 4 Padukuhan Ngentak, Agil Dwi Raharjo, menjelaskan kasus ini terungkap setelah Mbah Tupon mengadu bahwa tanah dan rumahnya tiba-tiba akan dilelang.
Setelah ditelusuri, diketahui bahwa beberapa tahun lalu pernah terjadi transaksi jual beli atas sebagian kecil tanah Mbah Tupon. Namun, sisa tanah yang masih atas nama Mbah Tupon ternyata beralih tangan tanpa sepengetahuannya.
Lebih mengejutkan, tanah tersebut kini tercatat atas nama Indah Fatmawati dan dijadikan jaminan pinjaman sebesar Rp1,5 miliar di Permodalan Nasional Madani (PNM), sebuah lembaga keuangan milik negara yang bergerak di bidang pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Agil menambahkan, pihak PNM sudah mengklarifikasi dan berkomitmen membantu mengembalikan sertifikat tanah kepada Mbah Tupon. Namun hingga kini, keluarga Mbah Tupon masih dilanda ketidakpastian hukum dan trauma. "Ada dua kali proses lelang, tapi gagal karena tidak ada peminat," kata Agil.
Kasus ini kini mendapat perhatian dari Polda DIY dan Pemerintah Kabupaten Bantul. Polda DIY mendorong keluarga Mbah Tupon untuk segera membuat laporan resmi agar kasus tersebut bisa diusut tuntas. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Soroti BPN, DPRD Bantul Dorong Pihak Berwajib Usut Tuntas Kasus Mafia Tanah Mbah Tupon
Pewarta | : Edy Setyawan |
Editor | : Ronny Wicaksono |